Optimalisasi Kebijakan Penerapan Inisiasi Menyusui Dini (IMD)

Oleh: Sri Wahyuni Tahir
Mahasiswa Program S2 Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin

MENARAINDONESIA.com-Cakupan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di Indonesia dinilai masih rendah, untuk itu kebijakan IMD di fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan perlu ditingkatkan efektivitasnya, melalui perekrutan duta IMD yang berperan dalam membantu mengkampanyekan IMD dan penerapan sanksi bagi fasilitas kesehatan yang tidak mempraktikkan pelaksanaan program IMD diharapkan bisa menjadi solutif dalam optimalisasi kebijakan penerapan IMD di fasilitas kesehatan Indonesia khususnya Kota Palu.

World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) telah merekomendasikan beberapa hal untuk peningkatan cakupan ASI eksklusif, yaitu memberikan kesempatan untuk IMD paling singkat selama 1 (satu) jam, menyusu secara eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan, memberikan makanan pendamping ASI bergizi sejak bayi berusia 6 bulan dan melanjutkan Menyusu sampai anak berusia 2 tahun atau lebih.

Pada tahun 2019, Direktorat Bina Gizi Kemenkes RI mengtargetkan 50% dan 80% untuk cakupan IMD dan ASI eksklusif. Kenyataannya, kesenjangan antara cakupan IMD dan ASI eksklusif semakin tinggi. Dampak dari rendahnya cakupan IMD akan berlanjut kepada rendahnya cakupan ASI eksklusif dan meningkatkan kejadian diare, penyakit infeksi saluran pernafasan (ISPA) dan juga gangguan pertumbuhan disertai gizi kurang pada masa balita dan kematian balita.

Penelitian telah membuktikan bahwa mortalitas dan morbiditas dapat diturunkan dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif. Sebuah studi meta-analysis yang dilakukan oleh Smith et al, menyimpulkan bahwa 85% bayi memiliki resiko kematian pada usia neonatal apabila jika diberikan ASI setelah 24 jam kelahiran.

Pemberian IMD telah terbukti dan diakui efektivitasnya. Namun, pada praktiknya pemberian IMD ini tidak tersebar luas dan menyeluruh di negara berkembang termasuk Indonesia sehingga menyisakan banyak ruang untuk terus dilakukan evaluasi.

Pertama, Berdasarkan monitoring yang dilakukan oleh Badan Kerja Peningkatan Penggunaan Air Susu Ibu (BKPP ASI) disebutkan bahwa banyak Rumah Sakit Bersalin yang tidak mendukung IMD. Sehabis dilahirkan bayi seharusnya langsung diletakkan di dada ibu agar refleksnya berkembang dan produksi ASI ibu meningkat namun bayi malah dipisahkan dan baru diberikan sehari kemudian.

Kedua, Ketidakmampuan Bidan untuk bersikap positif terhadap penerapan praktik IMD (Sikap positif Bidan terhadap IMD antara lain adalah Bidan merasa senang bila ibu mengerti akan pentingnya IMD, mau menyebar luaskan informasi tentang pentingnya IMD, mau membantu melaksanakan IMD, dan Bidan tidak mau memberikan susu botol kepada bayi).

Ketiga, Kurangnya fasilitasi dan kualitas IMD yang dilakukan oleh Bidan. Bidan mengakui dalam prkatiknya beberapa kasus IMD tidak terjadi kontak kulit antara ibu dan bayi karena bayi diberikan ke ibu dalam keadaan sudah terbungkus dan mereka umumnya pernah memberikan susu bantu kepada bayi dengan indikasi bila dalam 2 jam ASI belum keluar (takut terjadi hypoglikemia).

Keempat, Masih kurangnya promosi mengenai IMD, sementara di sisi lain IMD dinyatakan sebagai intervensi praktis yang sesuai dan signifikan dalam mengurangi angka kematian bayi.

Kelima, Masih banyaknya ibu hamil yang memilih untuk melakukan persalinan dibantu oleh tenaga Kesehatan tradisional (dukun beranak) yang belum memiliki pengetahuan tentang pentingnya pelaksanaan dan manfaat dari IMD pada pasca persalinan.

Dampak dari tidak Optimalnya Penerapan IMD

Risiko kematian pada bayi yang baru lahir semakin meningkat. Ketika IMD terlewatkan, artinya bayi tidak mendapatkan kolostrum yang mengandung banyak nutrisi protein zat besi dan lemak yang sangat baik untuk membantu menjaga kekebalan tubuh anak di masa emasnya. Bayi yang tidak mendapatkan kolostrum rentan terkena virus dan bakteri penyebab kematian dini.

Risiko kematian pada Ibu akibat perdarahan postpartum. IMD bermanfaat bagi ibu dalam mempercepat involusi uterus sehingga mengurangi jumlah perdarahan postpartum karena kontraksi Rahim setelah melahirkan. Hal tersebut dikarenakan hormon oksitosin yang keluar akibat rangsangan sentuhan tangan bayi di putting susu dan sekitarnya, hentakan kepala bayi pada dada ibu, serta emutan dan jilatan bayi pada putting ibu.

Produksi ASI menjadi tersendat dan kurang lancar. IMD mampu merangsang keluarnya hormon prolactin dan oksitosin yang memiliki peran besar terhadap produksi ASI. Jika kedua hormon tersebut terhambat maka produksi ASI menjadi tidak lancar. Akibatnya, ibu menjadi sulit menyusui yang akhirnya bisa membuat ibu sulit untuk menuntaskan ASI Ekslusif.

Untuk meningkatkan penerapan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di Fasilitas Kesehatan, maka perlu dilakukan kebijakan dengan mengefektifkan penerapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 33 tahun 2012 BAB 3 pasal 9 tentang “Tenaga Kesehatan dan penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan inisiasi menyusu dini terhadap Bayi yang baru lahir kepada ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam” dengan menerapkan sanksi bagi fasilitas Kesehatan atau tenaga Kesehatan yang tidak mempraktikkan pelaksanaan program IMD.

Selain itu, pemerintah terkait melakukan perekrutan duta IMD dari kalangan influencer yang bertugas menjadi promotor IMD melalui media social yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pelaksanaan dan manfaat dari IMD. Terkahir, upaya untuk meningkatkan penerapan Inisiasi Menyusui Dini (IMD) di Fasilitas Kesehatan dengan penerapan denda bagi ibu hamil yang tidak melakukan persalinan di fasilitas Kesehatan yang tersedia dan mampu dijangkau oleh ibu hamil.

ads

Leave a Reply