Roasting Ramadhan: Psikososial Tunjangan Hari Raya

Oleh: Abd Majid Hr Lagu, SKM.M.Kes
Ketua Jurusan Kesehatan Masyarakat
Fakuktas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN Alauddin Makassar

MENARAINDONESIA.com-Pembahasan yang paling menarik saat ini adalah Tunjangan Hari Raya atau THR. Hampir setiap waktu dan disetiap ruang pembicaraan tersulut pertanyaan kapan cair THR? Di Masjid kapan cair THR? di Kantor, kapan cair THR? Di jalan, kapan cair THR? Pulang ke rumah, kapan cair THR? Karena terlalu sering muncul pertanyaan ini akhirnya saya balik pertanyaannya, THR cair kapan? Ternyata saya balikpun tetap sama saja, artinya THR belum cair dan tidak tahu kapan cair. Hanya Allah yang tahu dan THR pasti akan cair tepat pada waktunya he he

THR ini luar biasa, bukan hanya dibicarakan tapi selalu ditunggu, khususya bagi ibu-ibu. Hampir semua pertanyaan anaknya dijawab dengan tunggu THR dulu. Kapan beli baju lebaran, Ibu? nanti ya Nak, tunggu THR dulu. Kapan bikin kue mentega, Ibu? nanti ya nak, tunggu THR dulu. Sampai-sampai anak bertanya kapan buka puasa Ibu? Jawabannya juga sama, nunggu THR dulu ha ha just kidding.

Ada apa dengan THR? mungkinkah ini ada hubungannya dengan mitos angka 13? sepertinya tidak, karena gaji 13 identik dengan tunjangan anak sekolah, sedangkan THR identik dengan gaji 14 yang diperuntukkan sebagai tunjangan hari raya, jadi jelas ini bukan mitos. Analisa saya THR belum cair mungkin saja karena masih tersimpan di dalam freezer. Silahkan anda maknai hehe.

Seberapa besar THR ini? apa betul besarannya bisa menyelesaikan semua kebutuhan dihari raya, termasuk kebutuhan ibu-ibu? Ternyata besarannya hanya satu kali gaji pokok plus tunjangan. Jika dianalisa jelas tidak akan cukup. Lalu kenapa sangat ditunggu? Jawabannya karena menunggu THR sudah menjadi tradisi masyarakat yang dibangun dan diwariskan.

THR mampu mempengaruhi psikososial masyarakat. Dalam interaksi sosial, masyarakat kebanyakan memilih menjadi objek bukan sebagai subjek. lebih banyak yang memilih tangan dibawah daripada tangan diatas. Mindset meminta lebih dikedepankan daripada memberi. Sebagai contoh, “Ibu memberi THR kepada Anaknya. Subjek adalah ibu sedangkan Objek adalah Anak. Jika anda adalah anak yang punya harga diri maka anda akan memutar balik faktanya. “Anak memberi THR kepada Ibu”. Akan jauh lebih keren lagi kalau anda mampu mengubah semuanya. Saya memberi THR kepada keluarga, Saya memberi THR kepada Teman, Saya memberi THR kepada Tetangga, Saya memberi THR kepada Pemerintah. Tapi khusus buat pemerintah sebaiknya jangan selain tidak etis nanti menjadi gratifikasi ha ha.

Memberi THR kepada pemerinta bisa dalam bentuk lain, misalkan masyarakat taat membayar pajak atau masyarakat produktif bekerja dan berkontribusi dalam membangun perekonomian bangsa. Harapannya tidak ada lagi orang dalam masyarakat yang kelihatan sehat tapi sebetulnya sakit. Sehat secara fisik tapi sakit secara mental, sakit secara spiritual, dan sakit secara sosial. Sebagai contoh, orang yang suka rebahan di rumah saja alias pengangguran. Kelihatan sehat secara fisik tapi sebenarnya sakit karena tidak produktif secara sosial dan ekonomi. mereka menunggu pekerjaan padahal ada pilihan yang lebih baik yaitu menciptakan lapangan pekerjaan, bahkan memberi pekerjaan kepada orang lain.

Satu hal lagi yang tidak kalah pentingnya jangan menunggu menjadi kaya untuk bisa memberi, karena akan jauh lebih bermakna kalau anda masih miskin tapi anda mampu memberi. Jangan menunggu menjadi lapang dulu baru anda memberi karena jauh lebih berarti kalau anda sempit tapi anda mampu memberi. Jangan menunggu besok untuk memberi karena boleh jadi hari ini adalah hari terakhir anda untuk memberi.

Kesimpulannya agar THR ini mampu menggerakkan perekonomian bangsa, maka jangan disandingkan dengan kata “Menunggu” tapi harus dengan kata “Memberi”. Jadi bukan Menunggu THR tapi Memberi THR.

Selamat berpuasa, Selamat memberi THR.
Jazakallah khairan Katsiran.

ads

Leave a Reply