Oleh : Eric Hermawan
(Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia dan Staf Pengajar STIAMI Jakarta)
MENARAINDONESIA.com-Menjelang akhir jabatan Presiden Jokowi pendekatan ekonomi dibangun dengan kabinetnya silih berganti mendapatkan peluang dan tekanan. Pemerataan pembangunan yang menjadi mantra pemerintahannya tidak semudah membalik telapak tangan. Dinamika global menyeret pendekatan ekonomi Jokowi terganggu bahkan terhambat. Sejumlah kebijakan seolah mendapatkan kritik yang tidak tertaut pada pemintaan masyarakat. Pelemahan ini menunjukkan pelemahan dari dalam dari rentang keseluruhan ide dasar target ekonomi ala Jokowi.
Awalnya gambaran kebijakan ekonomi presiden Joko Widodo (Jokowinomics) pada dasarnya ialah program pengeluaran besar-besaran (massive and expansive spending program). Program pengeluaran besar-besaran itu ditujukan untuk pembangunan infrastruktur guna menciptakan keterangkaian geografis bersifat maritime-based (berbasis maritim) demi mewujudkan kesatuan ekonomi nasional; pembangunan pertanian dan agroindustri untuk menciptakan kemandirian pangan; pengembangan manufaktur untuk menciptakan industri yang kompetitif; dan pemberdayaan”ekonomi tradisional” untuk menciptakan keadilan. Muara dari program ini mengejar pertumbuhan sebanyak 7 persen perekonimian kita.
Memang hadirnya Jokowinomics seolah memberikan catatan kritis pada pendekatan ekonomi presiden sebelumnya. Soekarnonomics melakukannya dengan kontrol politik terhadap kehidupan ekonomi dan pembangunan. Paham ini tumbang karena badai resesi tahun 1960-an. Keruntuhan rezim Soekarnonomics memunculkan paham Orde Baru di mana kebijakan ekonomi dan politik menjadi makin kentara. Era Presiden Soeharto, stabilitas dan isu kesejahteraan masyarakat justru menjadi ideologi dasar kemunculan corak kapitalisme liberal versi Indonesia.
Walapun demikian, Soeharto tetap memberi perhatian besar pada pengembangan sektor pertanian perdesaan sebagai pengimbang program industrialisasi yang masif. Buktinya Indonesia sukses mencapai swasembada beras. Ini diakui secara resmi Lembaga Pangan Internasional (FAO). Keberhasilan Soehartonomics tersapu badai korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang melahirkan krisis moneter tahun 1998, sekaligus berganti era reformasi.
Belanja APBN
Semua tergantung pada presiden sendiri dalam menciptakan iklim kondusif bagi kinerja sistem finansial, sebagaimana dipostulasikan Niall Ferguson dalam The Ascent of Money: Financial History of the World (2008), yakni lambat laun baik sistem maupun aktor-aktor finansial menemukan posisi otonomnya terhadap negara. Terpaan konflik global sejatinya hanya mencoba menguji daya dan kepekaan pola kebijakan yang dipilih. Perangkat Jokowinomics, seperti ekonomi yang efisien, tanpa KKN, dan birokrat sehat yang melayani dengan tujuan mendukung penghapusan ekonomi biaya tinggi. Sering tidak sejalan dengan gambaran di lapangan, masyarakat masih sulit menaruhkan kepercayaan final dengan kebijakan yang ada. Kelangkaan komoditas pangan dan naiknya BBM telah memukul nalar yang terasa masih dilaksanakan samar-samar dan bahkan tidak sama sekali kehadiran rakyat terasa.
Ferguson dalam The Great Degeneration: How Institutions Decay and Economies Die (2013), Ferguson menggambarkan situasi ekonomi sebagai pertarungan yang tidak seimbang. Di mana individu-individu dan korporasi-korporasi berada dalam sebuah pertarungan konstan untuk tetap hidup, memperebutkan sumber daya yang terbatas. Kita hanya punya pilihan terbatas yakni terus berinovasi atau mutasi (dalam pengertian alam) akan berkembang atau mati, awal-awal kita sudah dalam kondisi meraih kesempatan digitalisasi, namun rupanya fasilitator tidak merambah luas sehingga terjadi seleksi alamiah yang menandai pertarungan negara-sistem finansial inilah yang menjelaskan mengapa negara kewalahan menghadapi serbuan kejutan-kejutan dunia finansial belakangan ini.
Sejak naiknya harga BBM, target Jokowinomics kian bertolak belakang di lapangan. Pengembangan ekonomi tradisional dan UMKM masih terlihat stagnan. Pasar tradisional sebagai etalase ekonomi kota dengan omzet sangat menjanjikan kian tidak pasti karena naiknya satuan komoditas untuk kebutuhan prumer. Padahal keberpihakan pemerintah pada pengembangan sektor ini sangat diharapkan melalui penataan pedagang tradisional dan sektor informal tanpa menggusur. Sebagai mazhab politik ekonomi berdasarkan konsep kerakyatan seharusnya konsistensi itu dijaga.
Terdapat faktor penghambat program ekonomi Jokowinomics, pertama, pembanguan fisik yang dibangun dengan penggunaan APBN perlu dievaluasi kembali. Anggaran terlalu besar seperti pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dan IKN menjadi credit kritis publik yang berusaha memulihkan perekomiannya kembali. Kedua, progam inovasi tidak banyak mencuat, terutama anggaran untuk prodak pengembangan bahan bakar biodiesel yang berimplikasi pada penghematan anggaran belanja negara pada BBM dan gas. Ketiga, sirkulasi politik nasional yang kian berhubungan erat dengan daya pembentukan kebijakan ekonomi bertolak belakang dengan pikiran publik. Tak jarang permintaan transparansi tidak dihiraukan dan memunculkan power interest.
Meskipun Indonesia memiliki fundamental ekonomi yang kuat, ketidakpastian ekonomi global yang semakin eskalatif harus tetap dimitigasi dengan baik. Sebab, kombinasi risiko di atas berpotensi dapat menghambat tren pemulihan ekonomi yang saat ini sudah semakin menguat. Karenanya komposisi APBN 2022 juga perlu disesuaikan. Dari sisi pendapatan negara, terjadi kenaikan sebesar Rp420,1 triliun, sehingga total pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp2.266,2 triliun. total belanja negara 2022 diperkirakan mencapai Rp3.106,4 triliun, atau meningkat sebesar Rp392,3 trilun. Peningkatan tersebut sebagai konsekuensi dalam upaya memainkan peran APBN sebagai shock absorber.
Untuk itu, APBN didesain sebagai shock absorber untuk merespons ketidakpastian global. Sebagai shock absorber, APBN hadir untuk melindungi daya beli masyarakat dan menjaga pemulihan ekonomi, namun dengan tetap memelihara fiskal tetap sehat dan berkelanjutan. Oleh karena itu, APBN perlu dijaga tetap sehat dan berkelanjutan melalui beberapa hal sebagai berikut. Pertama, mengendalikan defisit APBN. Kedua, menjaga pelaksanaan APBN 2022 agar berjalan efektif sehingga dapat menjadi pondasi yang kokoh untuk konsolidasi fiskal di tahun selanjutnya. Ketiga, menjaga komitmen seluruh Kementerian/Lembaga untuk penguatan spending better melalui efisiensi belanja. Terakhir, menjaga reformasi fiskal dan struktural agar dapat berjalan efektif.
Sisa era Jokowinomics diharapkan masih mampu menjadi milestone pembangunan Indonesia baru akan segera selesai, warisan termahal adalah keberlanjutan yang bersambut gayung dari pole ekonomi politik kepemimpinan sebelumnya. Terobosan Presiden Jokowi seharusnya setara dengan apa yang dilakukan olehMendiang Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe yang diuntungkan penurunan harga minyak dunia sehingga punya kesempatan mendorong pilar terakhir Abenomics, yaitu meningkatkan daya saing ekonomi domestik. Demikian juga India, Perdana Menteri Narendra Modi dengan Modinomics-nya yang berencana mendorong industrialisasi secara masif sebagai bagian dari program seiring dengan turunnya harga energi global. Kita harus menunggu daya gebrakan Indonesia di tangan Jokowinomics!
Leave a Reply