Makassar, Kota Dunia Yang Belum Layak Huni

Oleh: Dr. Sawedi Muhammad, M.Sc

“Cities have the capability of providing something for everybody, only because and only when, they are created by everybody” (Jane Jacobs).

MENARAINDONESIA.com-Semua kota di seluruh dunia menghadapi tantangan yang sangat berat memasuki tahun 2022, tak terkecuali kota Makassar. Pandemi Covid-19 masih mencekam dan muncul dengan berbagai varian yang sulit ditebak. Bencana banjir menghantui di setiap musim hujan, meningkatnya angka kriminalitas, penyalahgunaan narkoba, kemacetan lalu lintas, pengelolaan sampah, cuaca ekstrim, kemiskinan dan pengangguran, anak jalanan dan pengemis serta tuntutan akan pelayanan publik yang prima dan birokrasi yang bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sebagai kota yang berjargon “Kota Dunia yang Sombere dan Smart”, tantangan untuk mewujudkannya tentu tidaklah ringan. Pemerintah kota Makassar telah melakukan berbagai upaya dalam mewujudkan visi misinya sesuai janji saat kampanye. Rakyat Makassar menanti gebrakan wali kotanya. Melalui 8 program strategis yang dipenuhi buzzwords: revolusi, restorasi, rekonstruksi, reformasi, water front city, smart city, livable city dan resilient city, rasa-rasanya, kota Makassar akan menjadi kota yang lebih layak huni dari Aukland atau Osaka, lebih cantik dari Kyoto atau Praha dan akan lebih tertata ketimbang Paris dan London. Publik boleh saja berharap, tetapi janji kampanye kadang sebatas persyaratan dokumen, sekaligus sebagai aksesoris politik dalam demokrasi prosedural. Bagaimana menilai kinerja Walikota dan wakilnya setelah hampir setahun memimpin Makassar? Adakah tanda-tanda perwujudan visi misi yang dijanjikan saat kampanye?

Penanganan Covid-19 yang Kontroversial

Publik tentu masih ingat program Makassar Recover. Program ini diluncurkan secara live di Metro TV tanggal 5 Maret 2021 dengan tagline “Smart Emergency Protocol Against Covid-19 and Service”. Program ini diklaim sangat canggih karena dilengkapi dengan Indeks Kepatuhan Protokol Kesehatan (IKPK) dengan berbasis aplikasi Sombere dan Smart City. Saking canggihnya, ada tingkat kepatuhannya yaitu Platinum dan Gold. Bagi rumah tangga yang patuh akan diberikan apresiasi berupa akses pendidikan terhadap anaknya untuk sekolah dimana saja dan diberikan BPJS kesehatan secara gratis. Hebatnya lagi, Makassar Recover menggunakan sistem QR Barcode untuk pengecekan sistem protokol kesehatan, QR tempat usaha, stiker QR code lorong, QR code rumah, protokel event, protokol perbatasan dan protokol izin usaha (Kabar News, 5 Maret 2021). Program ini  pada akhirnya menang di jargon, minim implementasi.

Di samping penuh kontroversi, Makassar Recover juga berbiaya raksasa. Anggarannya tidak main-main. Pemkot mengalokasikan 370 miliar rupiah. Dana tersebut diambil dari APBD 2021, termasuk di dalamnya anggaran proyek Pedestrian Metro Tanjung Bunga yang tidak dilanjutkan senilai 210 Milyar Rupiah. Biaya terbesar diantaranya untuk pengadaan 1000 GeNose buatan Universitas Gajah Mada dengan nilai sekitar 370 Miliar Rupiah (Fajar, 6 Maret 2021).

Kehebohan Makassar Recover tidak berhenti sampai di situ. Pemkot kemudian merekrut apa yang disebutnya sebagai Covid Hunter, Satgas Detektor dan Satgas Raika. Pelantikannya di Karebosi menimbulkan reaksi publik yang mengecamnya karena mengumpulkan ribuaan orang dalam waktu bersamaan di saat puncak penyebaran virus Covid-19. Kerumunan tak terhindarkan. Kontroversi berlanjut karena Satgas Detektor menyasar rumah-rumah penduduk untuk memeriksa kesehatan warga tanpa dibekali baju pelindung sesuai standar. Jumlah Satgas Detektor sangat besar. Tim ini melibatkan 15.306 orang yang terdiri dari 10.000 relawan, 5.000 tenaga kesehatan dan 306 dokter (Suarasulsel.id, 03 Juli 2021). Belakangan diketahui bahwa sampai bulan Oktober 2021, insentif Relawan Satgas Detektor Covid Makassar belum juga terbayarkan. Jumlahnya tidak main-main. Nilai insentif relawan mencapai angka 3 miliar rupiah (iNewsSulsel.id, 14 Oktober 2021).

Kontroversi Makassar Recover terus berlanjut. Publik masih ingat tempat isolasi di kapal penumpang Umsini yang banyak kecoaknya dan pengadaan kontainer di masing-masing kelurahan. Untuk kasus terakhir, pengadaan posko kontainer diduga merugikan keuangan negara dan Polda Sulsel sementara memeriksa camat di Makassar. (Tribun-Timur, 2 Desember, 2021). Publik juga menunggu laporan realisasi pengeluaran 370 miliar rupiah untuk program Makassar Recover sebagai wujud transparansi penggunaan anggaran.

Tata Ruang Semrawut

Sesuai dengan semangat UU No. 2/2007 tentang Penataan Ruang, ruang publik ditandai oleh tiga hal yang saling terkait; responsif, demokratis dan bermakna. Responsif berarti ruang publik dapat digunakan untuk berbagai kepentingan dan kegiatan masyarakat secara luas. Demokratis berarti ruang publik dapat digunakan oleh masyarakat dengan berbagai latar ekonomi, sosial, kultural dan aksesibilitas bagi berbagai kondisi fisik manusia. Bermakna berarti ruang publik harus memiliki tautan antara manusia, ruang dan dunia luas dengan konteks sosialnya. Tidak mudah memenuhi ketiga aspek dalam penataan ruang seperti disebutkan di atas. Makassar yang berjargon kota dunia pun terseok-seok mewujudkannya. Kota Makassar bahkan melakukan banyak pelanggaran penataan ruang.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Wilayah (RTRW), kabupaten/kota harus menetapkan bagian dari wilayahnya dan menyusun Rencana Detail Tata Ruangnya (RDTR). Rencana Detail ini harus ditetapkan paling lama 36 bulan sejak ditetapkannya Perda RTRW. Pemkot Makassar telah menetapkan Perda No.4/2015. Sampai saat ini, Peraturan Daerah tentang Rencana Detail Tata Ruang belum juga disahkan. Sebelum ditetapkan Perda RTRW 2015, Direktorat Pengendalian Perkotaan Kementerian Pekerjaan Umum mendapat temuan pelanggaran indikasi ketidaksesuaian tata ruang pada 14 titik di kota Makassar. Pelanggaran itu tersebar di Kecamatan Tamalanrea, Biringkanaya, Tallo, Mamajang, Makassar, Ujung Pandang, Wajo dan Panakkukang (Indotimnews, 7 Agustus 2014).

Karena ketiadaan RDTR sementara pembangunan infrastruktur perkotaan terus berlanjut, maka pelanggaran penataan ruang semakin masif. Hasilnya, penampakan kota semakin semrawut dan tidak teratur. Kota semakin macet, rawan banjir dan semakin jauh dari kualitas kota dunia. Solusi idelanya adalah, seluruh rencana pembangunan infrastruktur perkotaan harus ditangguhkan sebelum RDTR ditetapkan oleh pemerintah kota. Nafsu untuk membangun infrastruktur tanpa kesesuaian dengan penataan ruang hanya akan membuat kota semakin tidak layak huni dan membuat warganya semakin menderita.

Tulisan ini mengingatkan agar pemerintah kota menghentikan rencana pembangunan sirkuit balap dan Gedung Olahraga di Untia karena tidak sesuai dengan RTRW. Di dokumen RTRW yang ditetapkan melalui Perda No. 4/2015 pasal 20 menyebutkan bahwa sub-Pusat Pelayanan Kota pada kawasan Untia meliputi sebagian Tamalanrea dan sebagian Biringkanaya dengan fungsi sebagai pusat kegiatan perumahan kepadatan sedang, kepadatan tinggi, pusat layanan Penelitian dan Pendidikan Tinggi dan pusat kegiatan kemaritiman. Kawasan pesisir Untia adalah kawasan konservasi yang menjadi benteng terakhir pelestarian hutan mangrove sekaligus sebagai Ruang Terbuka Hijau yang menjadi paru-paru kota Makassar. Untia bukan untuk kawasan pembangunan infrastruktur olahraga. Untuk pusat pelayanan budaya dan olahraga, RTRW menetapkan di kawasan Mattoangin, Daya dan Barombong,

Kota Tidak Layak Huni

Karena berbagai kesemrawutan dan keserampangan dalam pembangunan, pada tahun 2017, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) melalui Indonesia Most Livable City Index (MLCI) menempatkan  Makassar sebagai kota yang paling tidak layak huni diantara 26 kota di Indonesia. Makassar berada dalam kategori Bottom Tier City dengan nilai terendah 55,7. Indikator penilaian kota layak huni meliputi ketersediaan kebutuhan dasar, ketersediaan fasilitas umum dan sosial, ketersediaan ruang publik, keamanan dan keselamatan, kualitas lingkungan, dukungan fungsi ekonomi, sosial dan budaya kota, serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Temuan IAP yang sangat memiriskan adalah Indeks Livability kota Makassar yang terus menurun dari tahun ke tahun. Catatan khusus yang menjadi top issues dari penilaian MLCI dan harus menjadi perhatian pemerintah kota adalah fasilitas pejalan kaki, keselamatan dari bencana, kemacetan, keterjangkauan hunian dan partisipasi warga dalam pembangunan. Kelima isu tersebut di atas tidak bisa dipungkiri adalah isu utama yang dihadapi warga Makassar dari waktu ke waktu.

Darurat Korupsi

Melihat berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan yang melibatkan otoritas pemerintahan, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Makassar sedang dalam darurat korupsi. Kasus yang paling heboh adalah pembangunan Rumah Sakit Batua yang diduga merugikan negara hingga 22 Miliar Rupiah. Sudah ditetapkan 13 tersangka dan kasusnya sudah ditangani pihak kepolisian. Keterlibatan 13 orang dalam kasus ini memberi indikasi kuat bahwa mentalitas korup di berbagai lapisan pemerintahan sudah semakin mengkhawatirkan. Fakta yang memilukan adalah dari 13 tersangka, dua diantaranya adalah adik-kakak dan terdapat dua tersangka lainnya adalah bapak dan anak. Kasus lain yang juga diduga merugikan negara dalam jumlah besar adalah kelebihan pembayaran tantiem dan bonus jasa produksi di PDAM Makassar tahun 2017-2019. Dugaan kerugian negara ditaksir sebesar 31 miliar Rupiah.

Kasus lain yang cukup menghebohkan adalah dugaan mark-up gaji honorer di OPD Pemkot Makassar. Hal ini diungkapkan Walikota usai mengevaluasi pembahasan APBD 2021 yang mencapai angka 500 miliar rupiah. Menurut Walikota, jumlah tenaga honorer sebanyak 12 ribu orang. Kalau dihitung rata-ratanya, jumlah gaji satu tenaga honorer bisa mencapai 5 jutaan per bulan. Padahal menurut fakta di lapangan, normalnya gaji mereka antara 1,5 juta hingga 2,3 juta rupiah (Antara, 5/11/2021). Beberapa kasus lainnya yang terindikasi ada dugaan korupsi dan penyelahgunaan wewenang adalah proyek pengadaan CCTV di Diskominfo, pemecatan 26 ASN, pengadaan pohon ketapang, serta dugaan korupsi bansos Covid-19 tahun 2020.

Melihat deretan berbagai kasus dugaan korupsi dan penyalahgunaan wewenang, maka tidak mengherankan apabila di tahun 2020 Transparency International Indonesia (TII) merilis survey tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di 12 kota besar di Indonesia. Indikator yang dijadikan penilaian adalah prevalensi korupsi, akuntabilitas publik, motivasi korupsi, dampak korupsi dan efektivitas pemberantasan korupsi. Hasilnya menempatkan kota Makassar sebagai kota terkorup kedua dengan nilai 53,4 setelah kota Medan dengan nilai 37,4 (Wartakota, 24 November, 2020). Masih tentang korupsi. Hasil Survey Penilaian Integritas yang dilakukan oleh KPK tahun 2021 di seluruh pemerintah daerah di 98 kementerian/lembaga, di 34 Provinsi dan 508 kota, menempatkan Makassar di rangking ke 647, sekaligus urutan terendah ketiga dari 24 kabupaten kota di Sulsel (Tribun Timur, 24 Desember, 2021). Dari segi prevalensi dan persepsi korupsi, Makassar tidak sedang baik-baik saja.

Beberapa Rekomendasi

Sebagai catatan akhir, penulis ingin menyarankan beberapa hal kepada walikota. Pertama, fokus merealisasikan visi misi sesuai janji kampanye dengan memprioritaskan penyelesaian RDTR yang sedang dalam proses pembahasan. Tanpa RDTR, kebiasaan membangun mengikuti pola tiba masa tiba akal akan terus berlanjut. Sebagai seorang city planner, walikota harus konsisten membangun kota melalui navigasi tata ruang yang menjamin optimalisasi pemanfaatan ruang untuk semua kepentingan, menjawab permasalahan kesenjangan wilayah, masalah lingkungan hidup dan keberlanjutan serta memastikan partisipasi warga didengarkan di setiap tahapan pembangunan. Kedua, program resetting pemerintahan yang dicanangkan tidak sekadar seleksi dan rotasi pejabat di lingkup pemkot berdasarkan kepentingan politis sesaat tetapi sebagai program yang akan merevolusi mentalitas aparat birokrasi sebagai pelayanan masyarakat yang profesional, berdedikasi dan berintegritas. Ketiga, membangun kota tidak melulu tentang infrastruktur fisik yang megah. Kebutuhan warga yang sangat mendesak adalah transportasi kota yang terintegrasi, trotoar yang nyaman untuk berjalan kaki, ruang publik dan taman-taman kota yang hijau, jalur sepeda yang aman, kemacetan yang terurai serta kota yang bebas banjir.

Masyarakat tidak membutuhkan jargon-jargon bombastis yang membahana di setiap acara formal dan di setiap pidato pemimpin kota. Masyarakat butuh kenyamanan dan keamanan di manapun mereka beraktifitas di seluruh penjuru kota. Masyarakat biasa seperti saya hanya memimpikan satu hal di kota yang semakin padat merayap; menjadi warga kota yang bahagia.

Leave a Reply