Peringati Hari Mangrove Sedunia, Masyarakat Donggala Menanam hingga Olah Pangan

DONGGALA,MENARAINDONESIA.com-Peringatan Hari Mangrove Sedunia diperingati di berbagai belahan dunia setiap tanggal 26 Juli. Hal yang sama dilaksanakan di Kelurahan Tanjung Batu, Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala, Selasa (26/07/2022).

Peringatan hari mangrove sedunia dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penanaman mangrove, demo olahan pangan dari mangrove dan deklarasi pelestarian mangrove di Teluk Palu dan sekitarnya oleh Yayasan Bonebula (YBB) bersama Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dengan dukungan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI).

Ratusan peserta dari berbagai pihak dan pelajar sekolah dasar menanam 3000 bibit mangrove jenis Rhizopora stylosa, Rhizopora mucronata dan Rhizopora apiculata. “Hari ini khusus menanam 3000 bibit mangrove, kami rencanakan menanam tiga hari kedepan 10.000 bibit di 10 hektar area terdegradasi Kelurahan Tanjung Bantu dan Kelurahan Kabonga Kecil,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Bonebula, Andi Anwar.

Selain penanaman bibit mangrove, kelompok Sahabat Mangrove Tanjung Batu dan Pejuang Mangrove Kabonga Kecil melakukan demo pengolahan buah mangrove menjadi bahan pangan.

Peserta dari perwakilan pemerintah, NGO, Komunitas, organisasi kampus dan masyarakat turut membubuhkan tanda tangan sebagai komitmen untuk melindungi dan melestarikan mangrove di wilayah Teluk Palu dan sekitarnya.

Mangrove Benteng Pesisir Teluk Palu, Andi Anwar menjelaskan kegiatan ini bertujuan melakukan rehabilitasi pada lahan yang terdegradasi, menguatkan inisiatif lokal untuk melindungi mangrove eksisting dan menggalang dukungan berbagai pihak untuk perlindungan dan pelestarian ekosistem mangrove di Teluk Palu dan sekitarnya.

Kata dia, kegiatan rehabilitasi mangrove ini merupakan bagian dari program perlindungan dan pelestarian kawasan mangrove di Teluk Palu dan sekitarnya untuk mitigasi bencana.

“Kami berharap dengan adanya program ini dapat meningkatkan pengelolaan mangrove sebagai benteng pesisir di Teluk Palu dan sekitarnya untuk mendorong resiliensi dan mitigasi terhadap bencana,” kata Andi Anwar.

“Pengelolaan mangrove yang efektif dan berkelanjutan diharapkan terwujud melalui intervensi program ini. Dikelolanya mangrove secara efektif, resiliensi atau kemampuan mengadaptasi perubahan baik secara sosial, ekonomi dan ekologi bisa terwujud. Kemampuan mitigasi bencana menjadi lebih kuat ditengah wilayah yang rentan bencana ini,” sambung Andi Anwar.

Lebih jauh Andi Anwar menyampaikan, peristiwa tsunami tahun 2018 lalu telah memberikan pembelajaran bahwa mangrove sangat tangguh meredam tsunami di berbagai wilayah Teluk Palu seperti di Kelurahan Labuan Bajo, Tanjung Batu, Kabonga Kecil, Kabonga Besar dan daerah lainnya.

“Berbagai wilayah yang ada ekosistem mangrove, ratusan rumah selamat dari terjangan tsunami. Sangat berbeda jauh di wilayah tidak ada mangrove, rumah mengalami rusak berat. Tentunya ini menjadi pembelajaran yang sangat besar bagi masyarakat pesisir,” jelas Andi Anwar.

Sementara Manajer Program Ekosistem Kelautan Yayasan KEHATI Toufik Alansar menyampaikan, pelibatan berbagai pihak dalam penanaman merupakan bagian dari upaya membangun kesadaran masyarakat untuk mendukung pelestarian kawasan mangrove.

Toufik menjelaskan pentingnya penanaman mangrove dalam upaya mitigasi bencana dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Menurut dia, hutan mangrove di kawasan pesisir bisa menjadi sabuk hijau yang melindungi daratan dari terjangan gelombang tinggi, tsunami dan angin laut serta abrasi.

“Walaupun berangkat dari mitigasi bencana, program konservasi mangrove ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat lain bagi keberlangsungan mahluk hidup terutama masyarakat sekitar,” ujar Toufik.

Tercatat, terjangan tsunami memang beberapa Kali menerjang teluk Palu pada tahun 1927, 1930, 1938, dan terakhir di tahun 1966. Fakta tersebut menggerakkan kepedulian Yayasan KEHATI untuk merestorasi ekosistem mangrove yang telah rusak. Selain sebagai peredam tsunami, keberadaan mangrove diharapkan dapat mengembalikan keanekaragaman hayati.

“Secara ekologi dapat mengembalikan fungsi-fungsi ekosistem hutan mangrove sebagai daerah pembiakan (spawning ground) dan daerah pembesaran (nursery ground) bagi sejumlah biota laut seperti udang, ikan, kepiting dan kerang–kerangan. Hal terpenting, program konservasi mangrove merupakan bagian dari program mitigasi perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon,” ungkapnya.

Alih Fungsi Lahan Ancaman Kelestarian Mangrove
Namun, KEHATI menyadari terdapat beberapa masalah dan tantangan dari program konservasi yang tengah dihadapi. Saat ini, laju perusakan luasan ekosistem mangrove yang ada jauh lebih cepat dibandingkan laju pertumbuhan dan rehabilitasi yang dilakukan. Hal ini disebabkan oleh degradasi dan alih fungsi lahan.

Selain itu, kesadaran masyarakat dalam melestarikan dan mengelola pemanfaatan mangrove masih rendah. Kebijakan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan mangrove walaupun sudah ada, pelaksanaanya dianggap masih belum maksimal.

“Berdasarkan pengalaman kami, program konservasi tidak akan berhasil jika tidak ada keterlibatan dan kesungguhan dari semua pihak. Mulai dari masyarakat sampai pemerintah daerah harus memiliki kesadaran dan kemauan dalam menjaga kelestarian mangrove di Teluk Palu Donggala. Harus dibangun mindset bahwa mangrove bukan sekedar obyek, namun subyek seperti manusia yang hidup berdampingan dengan masyarakat. Kita jaga mangrove, mangrove jaga kita,” jelas Toufik.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif YKL Indonesia, Nirwan Dessibali yang menyampaikan Mangrove Teluk Palu mengalami penurunan luasan mencapai 12% dari fase sebelum peristiwa tsunami tahun 2015. Pengurangan luasan ini mencapai nilai 7,78 ha. Sebelumnya luasnya mencapai 66,89 ha di tahun 2015 menjadi 59,11 ha tahun 2019.

“Ancaman dan gangguan terhadap keberadaan ekosistem mangrove di tingkatan landscape adalah alih fungsi lahan dan pengembangan kawasan. Sebagian besar kawasan intertidal Teluk Palu berdekatan dengan jalur transportasi atau jalan darat provinsi. Umumnya pengembangan pemukiman dan pusat pertumbuhan berada di pinggir jalan,” ujar Nirwan.

Nirwan menjelaskan lahan di dekat daratan lumayan sempit karena berbatasan dengan dataran tinggi atau tebing. Pemukiman dan peruntukan kawasan lainnya berkembang ke arah laut.  Penelusuran perubahan lahan melalui Google Earth menunjukkan beberapa wilayah pemukiman di dekat pantai terancam. Reklamasi pantai menjadi trend di beberapa lokasi baik di Kota Palu maupun Kabupaten Donggala.

“Hal ini mengambil ruang hidup ekosistem mangrove. Padahal sebaran lokasi yang bisa ditumbuhi juga terbatas. Selain itu penimbunan di kawasan darat mengganggu siklus  hidrologi dari arah darat ke ekosistem mangrove. Ini juga mengganggu pertumbuhan mangrove,” tegas Nirwan.

Dari hasil studi YKL Indonesia bersama Yayasan KEHATI pada tahun 2019, luas ekosistem mangrove di Teluk Palu mencapai 59,11 ha. Kabupaten Donggala adalah wilayah konsentrasi persebaran mangrove. Luasnya mencapai 58,21 ha atau 98% dari total luasan mangrove Teluk Palu.
Sisanya tersebar tipis di Kota Palu seluas 0,90 ha. Kawasan mangrove terluas di Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala  yaitu 57,97 ha. Kecamatan pesisir lainnya di Teluk Palu memiliki luasan yang sangat kecil berkisar 0,02 ha – 0,83 ha saja. Ekosistem mangrove tersebar tipis di spot-spot kecil di 4 kecamatan pesisir Kota Palu dan 2 kecamatan pesisir Donggala.

“Selain menambah luasan, penting untuk menjaga atau melakukan konservasi mangrove yang saat ini masih bertahan,” jelas Nirwan.

Mangrove Jadi Bahan Olahan Pangan selain menanam ribuan pohon mangrove, peringatan mangrove sedunia itu juga diramaikan oleh ibu-ibu dari kelompok Pejuang Mangrove Kabonga Kecil dan Sahabat Mangrove Tanjung Batu. Mereka melakukan demo dan memamerkan aneka ragam hasil olahan pangan mangrove.

Ada 6 jenis mangrove yang diolah menjadi 8 olahan pangan dan 1 bedak dingin. Jenis Bruguiera gymnorrhiza dijadikan bolu, peyek, bwonies, dan onde-onde. Jenis Avicennia marina menjadi kue tetu, Acrostichum speciosum menjadi urap, Pluchea indica menjadi kripik, Rhizophora mucronata menjadi kopi dan Xylocarpus granatum menjadi bedak dingin.

Rini salah satu anggota Komunitas Pejuang Mangrove mengatakan, mereka baru menyadari bahwa ternyata manfaat mangrove tidak hanya menjadi benteng tsunami di wilayah pesisir melainkan menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat pesisir.

“Setelah mendapat pelatihan dari YKL Indonesia dan Bonebula, kami baru tau ternyata buah mangrove bisa dimakan, bisa jadi obat herbal dan bahan baku membuat skin care. Insya Allah kami akan memproduksi massal penganan dari buah mangrove. Selama ini, kami sudah jual di pasar dan alhamdulillah banyak yang suka,” ujarnya sambil memamerkan kue brownis  yang ia buat dari bahan dasar buah mangrove.

Kata Rini, mangrove merupakan salah satu tumbuhan yang dapat dikembangkan juga sebagai sumber pangan alternatif. Walaupun saat ini masyarakat umum belum begitu mengenal akan potensi hutan mangrove sebagai penghasil cadangan pangan untuk membantu mencukupi kebutuhan pangan masyarakat pesisir.

Ia berharap, mangrove yang berada di wilayah pesisir Donggala bisa tetap terjaga agar anak cucu mereka bisa merasakan bahwa manfaat mangrove ini begitu luar biasa.

“Kami berharap semakin banyak masyarakat yang sadar untuk tidak menebang mangrove sembarangan sehingga kami tidak kehabisan bahan baku untuk membuat berbagai penganan lokal dari mangrove,” harapnya.

Hal senada disampaikan perwakilan kelompok Sahabat Mangrove Tanjung Batu, Faizah yang setelah mendapatkan pelatihan telah mencoba memanfaatkan mangrove sebagai bahan pangan.

“Kami meyakini bahwa buah mangrove bisa dimakan dan tidak beracun karena secara logika buah ini sering dimakan oleh satwa yang hidup didalamnya misalnya kera, burung dan ular pohon. Kami semakin yakin setelah ada pelatihan,” katanya.

Ia menjelaskan, Buah mangrove tidak bisa langsung diolah menjadi makanan. Langkah pertama untuk mengolahnya adalah mengupas kulit buah mangrove, kemudian buah di belah untuk menghilangkan bagian tanin yang mirip kapas kecil berwarna putih dan lengket. Bagian ini jika tidak dihilangkan dan direbus, maka seluruh buah mangrove akan berwarna biru keunguan dan tercium tidak sedap sehingga tidak enak lagi dimakan.

“Sebelum direbus, buah mangrove harus terlebih dahulu direndam dalam air tawar selama tiga hari. Setiap hari saat pagi dan sore, air rendaman buah mangrove harus diganti untuk menghilangkan getah yang menempel. Setelah tiga hari direndam, buah mangrove siap digunakan untuk makanan apa saja, seperti keripik, tinggal ditambah bumbu berupa, garam, bawang merah dan bawang putih dan siap untuk digoreng,” pungkasnya.

ads

Leave a Reply