Oleh: Ibnu Hajar, S. Sos,. M. I.Kom.
Dosen Ilmu Komunikasi UIN Alauddin
MENARAINDONESIA.com-Kemunculan pandemi Covid-19 yang merebak pada hampir semua negara di dunia tidak saja menjadi fenomena kesehatan global semata tetapi sekaligus diikuti fenomena lain yang menyertainya yakni munculnya fenomena sosiologi baru tentang pembatasan sosial. Hal ini bermula dari adanya penjarakan antar shaf dalam ibadah, perubahan bentuk salaman menjadi salam corona, dan adanya gejala gejala saling mencurigai dalam ruang publik antar individu, dan antar kelompok dalam masyarakat sehingga fenomena ini tidak hanya memberikan jarak antara si-miskin (Proletariat) dan si-kaya (Borjuis) sebagaimana konsep stratifikasi sosial namun telah bergerak dalam lintasan keseluruhan individu dalam penjarakan antara individu yang satu dengan indivdu lainya pada konteks interaksi sosial.
Emile Durkheim, salah satu tokoh sosiologi dalam buku yang diterbitkan dengan judul “Suicide” (Bunuh diri) berusaha untuk mengungkap, mengapa dalam Negara yang makmur mengalami tingkat bunuh diri yang tinggi? Durkheim menunjukkan bahwa faktor individualisme adalah salah satu penyebab mengapa tingkat bunuh diri itu menjadi tinggi sedangkan mereka merupakan negara makmur.
Tentu kasus Covid-19 yang hadir pada saat ini berbeda dengan kasus yang dihadapi oleh Emile Durkheim, namun setidaknya Emile Durheim menunjukkan solidaritas sosial turut berkonstribusi dalam kesehatan mental seseorang.
Covid-19 bukan hanya membawa penyakit fisik, tetapi sekaligus membawa masalah ekonomi yang kian merosot bagi kalangan menengah-bawah, serta penyakit mental. Hal ini dapat dicontohkan dimana seseorang yang positif Covid-19 akan di kucilkan dari ruang sosial mereka dan keluarganya turut dicurigai seolah-olah positif Covid-19 ini merupakan aib yang mesti disembunyikan.
Dalam argumentasinya, Dani Pamanto mengungkap bahwa kondisi Covid-19 bukan hanya masalah penyakit biasa namun penyakit yang penuh dengan kompleksitas sehingga upaya penanganannnya tidak hanya berputar pada aspek pengobatan dan vaksin tetapi sekaligus memerlukan solidaritas sosial yang perlu digali dan didayagunakan sebagai upaya penanganan Covid-19.
Namun muncul pertanyaan, apakah dengan latar belakang arsitektur yang dimiliki Danny Pamanto dapat memecahkan kompleksitas ini? Arsitektur yang kita pahami ternyata tidak sesederhana apa yang dibayangkan, pada perkembangan keilmuan arsitektur memerlukan pertimbangan lingkungan, keamanan, kesehatan dan faktor sosiloogi lainnya yang juga begitu kompleks, dan Dani Pamanto mempunyai latar belakang tersebut, tentu diawal kepemimpinan Danny Pomanto dan Fatmawati Rusdi memiliki pemahaman yang mumpuni terkait langkah strategis dan konsep ideal sebagai landasan gagasan dalam menghadirkan strategi penanganan Covid-19 agar Kota makassar keluar dari zona merah dan Makassar kembali ke zona hijau yang tidak hanya bertumpu pada aspek kesehatan semata tetapi memadukan aspek sosiologis sebagai pisau analisis dalam pemecahan masalah.
Leave a Reply