MAKASSAR,MENARAINDONESIA.com-Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) menggelar Forum Grup Diskusi (FGD) bertajuk “RKUHAP dan Perlindungan Hak Asasi: Antara Harapan dan Realitas”, Selasa (19/2/2025), di Aula Hidjaz Fakultas Hukum UMI.
Diskusi ini menyoroti polemik rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), khususnya terkait tambahan kewenangan bagi kejaksaan yang dinilai berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Acara yang dimulai pukul 13.30 WITA ini dihadiri oleh 137 peserta dari berbagai lembaga internal UMI. Sejumlah akademisi dan praktisi hukum turut menjadi narasumber dalam diskusi ini, di antaranya:
1. Dr. Andi Istiqlal Assaad, S.H., M.H. (Ketua Bagian Hukum Acara Pidana FH UMI)
2. Syamsul Bahri Majjaga, S.H. (Bidang Hukum KNPI Provinsi Sulawesi Selatan)
3. Rizki Ramadhani, S.H., M.H. (Ketua Bagian Hukum Tata Negara FH UMI)
Kewenangan Jaksa dalam RKUHAP Dipertanyakan
Ketua BEM Fakultas Hukum UMI, Adam Rifki, dalam sambutannya menegaskan bahwa rancangan RKUHAP harus dikaji secara kritis agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan. Ia menilai kewenangan jaksa yang diperluas dalam RKUHAP dapat mengancam prinsip check and balance dalam sistem hukum pidana.
Dr. Andi Istiqlal Assaad menjelaskan bahwa dalam regulasi saat ini, jaksa berperan sebagai penuntut umum. Namun, RKUHAP mengusulkan jaksa sebagai pengendali perkara (dominus litis), yang meliputi penyelidikan dan penyidikan. Menurutnya, hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan Polri.
“Jika kewenangan jaksa dalam RKUHAP tidak diatur secara teknis dengan jelas, maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam sistem peradilan pidana. Harus ada regulasi yang memperjelas batasan kewenangan agar tidak bertabrakan dengan kepolisian,” ujarnya.
Sementara itu, Syamsul Bahri Majjaga dari KNPI Sulsel menegaskan bahwa pihaknya menolak pemberian kewenangan penuh kepada kejaksaan tanpa pengawasan ketat. “Kami di KNPI menolak RKUHAP dalam bentuknya saat ini. Kami siap memfasilitasi diskusi lanjutan agar mahasiswa dan akademisi bisa lebih mendalami isu ini,” tegasnya.
Rizki Ramadhani turut mengkritisi dampak dari perubahan ini. Ia menilai bahwa pemberian kewenangan penyidikan kepada kejaksaan dapat memunculkan dualisme dalam sistem peradilan pidana. “Selama ini penyidikan merupakan ranah kepolisian, yang sudah memiliki mekanisme pengawasan dan evaluasi. Jika kewenangan itu diberikan kepada kejaksaan tanpa persiapan matang, bisa saja justru menimbulkan ketidakpastian hukum,” katanya.
Diskusi Berlangsung Dinamis, Perlu Kajian Lebih Lanjut
Dalam sesi tanya jawab, peserta FGD menyoroti berbagai persoalan, termasuk potensi penyalahgunaan kewenangan, jaminan objektivitas jaksa dalam menangani perkara, serta mekanisme penyelesaian sengketa antara penyidik Polri dan kejaksaan. Para narasumber sepakat bahwa sebelum disahkan, RKUHAP harus melewati kajian lebih mendalam agar tidak menimbulkan ketimpangan dalam sistem hukum pidana.
Diskusi ini ditutup pada pukul 15.20 WITA dengan penandatanganan berita acara. BEM Fakultas Hukum UMI menegaskan bahwa mereka akan terus mengawal isu ini sebagai bentuk partisipasi akademisi dalam menjaga prinsip keadilan dalam sistem hukum di Indonesia.
Leave a Reply