Radikalisme Sebagai Alat Pengendalian Opini Publik

Oleh: Balduinus Ventura
Ketua Lembaga Advokasi Hukum dan HAM PP PMKRI

MENARAINDONESIA.com-Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki kekayaan  dan keragaman suku dan agama. Keragaman agama di Indonesia tentu menjadi sebuah kebanggaan kita bersama dan ciri khas kita sebagai bangsa yang besar. Selain itu pluralitas agama yang ada bisa menjadi modal sosial yang besar untuk membangun soliditas dalam berbangsa dan bernegara. Dalam sejarah berdirinya negara Indonesia, kita tak asing lagi mendengar para pendiri bangsa berdebat dengan latar belakang gagasan yang berbeda.

Banyak pemikir berhaluan kiri mempertengkarkan ide tentang Marxisme-komunisme, dari golongan tengah berbicara tentang konsep nasionalisme Indonesia hingga diskursus soal konsep Islamisme. Perdebatan yang panjang dan tajam diantara pemikir sekaligus pendiri bangsa melampaui  seluruh identitas apapun termasuk identitas keagamaan. Para pendiri bangsa lahir dari spirit dan semangat kebangsaan yang sama dan pada ujungnya mereka ingin tumbuh dan merdeka pada fondasi yang kokoh yaitu Pancasila.

Sejarah  terus berkembang dan peradapan politik juga terus berjalan.Tetapi Spirit dan nilai yang ada dalam sejarah tersebut  hanyalah bualan bagi para mayoritas penerus bangsa ini lebih khusus para elit politik.Pluralitas agama tidak lagi menjadi kekayaan dan ciri khas yang kita rawat bersama melainkan dijadikan komoditas politik para elit untuk mengamankan  kekuasaan. Pergeseran substansi politik  tak lagi dikemas secara tajam dengan dalil dan visi yang berbasis intelektualitas. Agama dieksploitasi habis-habisan dengan stigma dan labelitas radikal  pada agama tertentu  dengan menguburkan esensi politik itu sendiri

Berangkat dari realitas politik belakangan ini yang mengakibatkan mengecilnya ruang oposisi di parlemen dan potensialitas matinya keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislative. Secara systemic fungsi dan peran legislatif dikerdilkan karena semuanya menyatu dengan kekuasaan eksekutif. Sebagai konsekuensinya banyak kebijakan –kebijakan yang ditelurkan oleh pemerintah tidak pro rakyat dan tidak diperjuangkan oleh legislative. Hal ini yang kemudian membuat rakyat membentuk parlemen jalanan yang dilatarbelakangi dengan berbagai macam identitas termasuk identitas keagamaan.

Menguatnya kritikan dan gerakan social bebasis identitas beberapa tahun terakhir  sebagai bentuk kemarahan, kekecewaan dan  kritik publik akibat matinya demokrasi dan demokratisasi pada tataran elit. Matinya diskursus kerakyatan dan politik gagasan membuat masyarakat harus membuat gerakannya sendiri bahkan dengan cara-cara yang ekstrim. Mirisnya gerakan yang dibangun tersebut dijadikan komoditas oleh para elit untuk saling mengamputasi kekuasaan dan kepentingan bukan untuk kepentingan rakyat

Gerakan berbasis identitas keagamaan  yang sangat kritis dijadikan ladang bagi para penguasa untuk menciptakan  stigma dan labelitas kelompok radikal dan memelihara pembelahan antara umat beragama ditengah keberagaman. Konsekuensinya publik diperopaganda sedemikian rupa untuk selalu mengonsumsi stigma yang dibangun oleh elit. Narasi yang dibangun oleh negara bukan lagi bagaimana merawat kesejukan dan keakraban antara umat tapi cendrung bersifat intoleransi dan unpancasilais. Stigmatisasi radikal pada kelompok masyarakat terttentu terus dinarasikan untuk menimbulkan ketakutan dan kebencian antar warga negara.

Pada sisi yang lain stigma dan labelitas kelompok radikal yang dibuat oleh negara tak lain untuk mengendalikan opini publik terhadap kegagalan-kegagalan  negara agar luput dari wacana dan kritikan  publik. Radikalisme dijadikan senjata untuk mengamankan kepentingan politik sekaligus menimbulkan kekacaauan di public. Selain itu juga, negara sengaja memelihara isu radikal untuk di hembuskan pada momentum politik sehingga senjata yang dipakai untuk mengelabui rakyat bukan gagasan, visi maupun konsep melainkan dengan menjual labelitas tersebut sehingga public diarahkan  sesuai dengan desain para elit untuk memuluskan kepentingannya.

Beberapa hari yang lalu masyarakat dikagetkan dengan seorang perempuan bercadar dan berpistol mencoba untuk menerobos istana. Tapi anehnya mayoritas public jadi  merasa tidak yakin dengan situasi itu.Artinya bahwa public mengganggap kejadian itu hanyalah drama yang dibuat oleh kekuasaan. Dari sini kita bisa pelajari bahwa terkadang radikalisme sengaja dihembuskan ke public untuk tujuan tertentu oleh kekuasaan bahkan untuk memojokan kelompok tertentu dan untuk tujuuan tertentu pula. Kita menolak kekerasan dan aksi sejenisnya tapi negara juga harus fair dalam mengkontekskan narasi terkait radikialisme

Sebagai intelektual kita dituntut untuk berani mengucapkan kejernihan politik tanpa menyudutkan identitas apapun. Kita juga dituntun secara etis untuk terus mencerdaskan public sehingga rakyat tidak terjebak dengan framing yang dibangun oleh penguasa.Apalagi momentum politik 2024, kita tidak ingin ruang public hanya didominasi dengan kebisingan elitis yang selalu menjual dan mengeksploitasi  politik identitas. Tapi harus lebih dalam dan tajam sehingga politik tumbuh dalam semangat kesejukan warga negara dan mengakar pada gagasan dan nilai kerakyatan.

Leave a Reply