PBHI Sulsel Soroti Kelemahan Komnas HAM dan Dorong Pembentukan Peradilan Khusus

img

MAKASSAR,MENARAINDONESIA.com-Seiring peringatan 75 tahun Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Wilayah Sulawesi Selatan (PBHI Sulsel) menyoroti kelemahan sistem penegakan hukum terkait kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pada momentum penting ini, PBHI Sulsel mengangkat isu status kewenangan penuntutan dari Komnas HAM dan mendorong pembentukan peradilan khusus HAM.

Dalam aksi memperingati Hari HAM di beberapa daerah Indonesia, PBHI Sulsel menyoroti ketiadaan kewenangan penuntutan yang dimiliki oleh Komnas HAM. “Kita punya Komnas HAM tetapi tidak punya kewenangan penuntutan,” ungkap Kadiv Kampanye dan Kajian Isu-Isu Strategis PBHI Sulsel. Hal ini membuat kasus pelanggaran HAM masa lalu diserahkan pada kejaksaan agung, yang menimbulkan keraguan akan independensinya.

Meskipun Undang-Undang No. 26 tahun 2000 memberikan kewenangan kepada kejaksaan agung untuk menyidik kasus pelanggaran HAM berat, kasus yang diserahkan oleh Komnas HAM berakhir mandek dalam proses hukum. Hanya kasus paniai yang dilanjutkan ke pengadilan, namun tidak ada tersangka yang terbukti bertanggung jawab meskipun pelanggaran HAM diakui oleh negara.

PBHI Sulsel juga menyoroti perlunya pembentukan pengadilan khusus HAM sebagai mekanisme penyelesaian yang efektif. Di Indonesia, pengadilan untuk kasus pelanggaran HAM masih bersifat ad hoc dan bukan permanen. “Penyelesaian terhadap pelanggaran HAM berat harus mengacu pada prinsip ‘exhaustion of local remedies’ melalui mekanisme forum pengadilan nasional,” tambah Kadiv Kampanye PBHI Sulsel.

Selain itu, isu pemajuan dan penegakan HAM juga menjadi sorotan. Meski negara telah meratifikasi konvensi tentang HAM, pemenuhan kewajiban negara dalam pemajuan, perlindungan, dan penegakan HAM masih mengalami kemerosotan. Kasus kriminalisasi terhadap aktivis dan pembatasan kebebasan berekspresi semakin mengkhawatirkan. Kasus terbaru seperti kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menunjukkan respon negara terhadap kritik yang tidak proporsional.

Kasus-kasus seperti dosen yang salah tangkap dalam aksi demonstrasi menolak Omnibus Law, yang telah disimpulkan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM, namun tidak kunjung menemui kejelasan, menjadi bukti nyata akan ketidakpastian penegakan HAM di Indonesia.

Namun, ironisnya, isu pemenuhan dan penegakan HAM tidak terlalu ditekankan dalam visi dan misi ketiga pasangan Capres dan Cawapres yang tengah berkampanye. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pelanggaran HAM mungkin akan tetap menjadi masalah di masa depan dan tidak dianggap sebagai prioritas oleh negara.

Dengan peringatan Hari HAM Sedunia sebagai momentum penting, PBHI Sulsel menegaskan perlunya reformasi dalam sistem penegakan hukum terkait HAM di Indonesia agar kasus-kasus pelanggaran HAM bisa dituntaskan dengan adil dan efisien, serta memastikan perlindungan dan pemajuan HAM sebagai prioritas utama negara.

ads

Leave a Reply